Rabu, 14 Desember 2011

Neraca Pembayaran

A.    PENDAHULUAN
Salah satu  tugas pokok Pemerintah selama Repetita I ada-    lah melaksanakan program stabilisasi dan rehabilitasi ekonomi sebagai landasan  bagi  pembangunan jangka panjang berdasar­kan kekuatan sendiri. Hal ini berarti bahwa kemampuan kita harus ditingkatkan untuk menggali dana-dana yang tidak kecil bagi pembiayaan pembangunan. Di samping dana-dana dalam negeri dalam bentuk tabungan masyarakat dan tabungan Pe­merintah, diperlukan pula banyak devisa untuk mengimpor ba­rang dan jasa terutama bahan baku dan barang modal yang belum dapat kita hasilkan sendiri. Oleh karena itu maka usaha­usaha untuk meningkatkan penghasilan devisa yang berasal dari ekspor dan usaha-usaha untuk menghemat devisa melalui pe­ngendalian impor merupakan kebijaksanaan utama di bidang perdagangan luar negeri selama Repelita I. Pinjaman dan pe­nanaman modal dari luar negeri sebagai sumber pembiayaan pelengkap juga telah menunjang usaha usaha pembangunan selama pelaksanaan Repelita I akan tetapi dengan peranan yang semakin berkurang. Penyelesaian masalah-masalah hutang­hutang lama, kebijaksanaan tentang persyaratan hutang­hutang baru dan laju pertumbuhan ekspor telah meng­hasilkan suatu  perkembangan yang menggembirakan dari ne­raca pembayaran Indonesia selama masa 1969/70 - 1973/74.
Perkembangan  neraca pembayaran Indonesia selama Repeli-   ta I sangat dipengaruhi oleh perkembangan politik dan ekonomi dunia. Selama masa tersebut ekonomi dunia ditandai oleh per­golakan-pergolakan  di bidang perdagangan dan sistem pemba-
199


yaran internasional yang berlangsung hingga saat ini. Masalah­masalah yang berkaitan dengan hambatan perdagangan, kelang­kaan dalam persediaan pangan, sumber-sumber tenaga dan bahan baku, ketidak pastian dalam nilai valuta negara-negara industri serta laju inflasi internasional merupakan rintangan­rintangan yang berat terhadap usaha-usaha ke arah perluasan perdagangan internasional dan kestabilan sistem moneter dunia. Khususnya untuk negara-negara yang sedang berkembang, kegoncangan yang terjadi di bidang perdagangan dan keuangan internasional membawa serta berbagai pengaruh yang tidak me­nentu pada perdagangan luar negeri dan laju pembangunan di dalam negeri.
Kegoncangan dalam sistem keuangan internasional pada azasnya bersumber pada kenyataan bahwa perjanjian Bretton Woods yang diciptakan pada tahun 1944 tidak sesuai lagi dengan perkembangan ekonomi internasional. Dalam kerangka perjan­jian Bretton Woods ini maka sistim moneter dunia setelah Pe­rang Dunia kedua digantungkan pada dollar Amerika Serikat yang pada gilirnya dikaitkan dengan emas. Dengan demikian, dollar Amerika Serikat memegang peranan yang menentukan dalam sistem pembayaran dan perdagangan internasional seba­gai cadangan devisa utama di samping emas. Akan tetapi de-ngan perkembangan yang pesat dari negara-negara industri di Eropa Barat dan Jepang, ketergantungan negara-negara terse­but pada dollar secara berangsur-angsur berkurang. Sementara itu neraca pembayaran Amerika Serikat mulai menunjukkan defisit. Keadaan ini disertai pula dengan penurunan nilai dollar    di negara tersebut akibat kenaikan dalam tingkat harga. Kedu­dukan dollar juga diperlemah oleh karena mengalirnya dollar ke pasaran valuta di Eropa Barat dan Jepang dalam bentuk pena­naman modal antar-bank dan dana jangka pendek yang bersifat spekulatif.
Salah satu tindakan untuk menanggulangi krisis moneter  yang mulai berkembang sekitar tahun 1969, adalah diciptakan­nya Special Drawing Rights (SDR) sejak bulan Januari 1970         
200


guna menghadapi kelangkaan dalam likwiditas internasional. Dengan penyesuaian dan perkembangan SDR diharapkan bah-wa peranannya akan dapat diperluas dan peranan dollar dapat dikurangi. Kemudian, pada tanggal 15 Agustus 1971 Pemerin­tah Amerika Serikat mengambil serangkaian tindakan-tindakan yang pada pokoknya terdiri dari pengurangan bantuan kepada negara-negara yang sedang berkembang sebesar 10 persen; pembatalan konvertibilitas dollar terhadap emas serta penetap-  an pungutan tambahan sebanyak 10 persen pada barang-barang impor.
Dalam rangka usaha untuk memulihkan stabilitas moneter internasional maka pada tanggal 18 Desember 1971 telah dice­tuskan Perjanjian Smithsonian yang mengatur perubahan    dalam paritas valuta negara-negara industri yang termasuk Kelompok Sepuluh. Setelah itu, perkembangan moneter dunia rnula1 menuju ke arah yang relatif stabil selama beberapa     bulan. Akan tetapi sejak pertengahan tahun 1972 mulai terli-hat lagi kelemahan yang pada hakekatnya terletak dalam sis-tem Bretton Woods.
Dengan memperhatikan perkembangan tersebut di atas, oleh Dana Moneter Internasional dianggap perlu untuk menjajagi suatu sistim moneter internasional baru dengan peraturan-per­aturan tertentu yang harus dipatuhi oleh semua negara ang­gotanya. Untuk tujuan inilah dibentuk "Pantia-20" dalam bulan Juli 1972 berdasarkan suatu resolusi Dewan Gubernur Dana Moneter Internasional. Panitia ini ditugaskan untuk meran­cangkan pembaharuan sistem moneter dunia dan beranggota-kan Menteri-menteri Keuangan dari 11 negara maju dan 9 ne­gara yang sedang berkembang yang mewakili seluruh ang­gota Dana Moneter Internasional. Adapun ketua "Panitia-20" tersebut adalah Menteri Keuangan Indonesia.
Setelah mengadakan sidang sebanyak 5 kali untuk memba- has berbagai aspek yang menyangkut pembaharuan sistem moneter dunia, maka dalam bulan Januari 1974, Panitia-20   telah mencapai  persetujuan  prinsip tentang arah dan garis­garis besar suatu sistim moneter yang baru. Di lain pihak,

201


dengan timbulnya masalah yang bertalian dengan krisis energi dan bahan baku, diputuskan pula bahwa pelaksanaan sistim moneter yang baru secara menyeluruh diundurkan hingga      saat yang lebih tepat dari pada dewasa ini. Untuk jangka pen-dek, langkah-langkah yang disetujui antara lain meliputi: pe­doman untuk pengaturan kurs valuta yang sekarang mengam­bang; penciptaan suatu fasilitas dalam Dana Moneter Inter­nasional untuk membantu negara-negara sedang berkembang menghadapi pengaruh kenaikan biaya impor minyak bumi dan hasil-hasilnya; penghindaran restriksi pada pembayaran dan perdagangan internasional karena tekanan neraca pembayaran serta penyempurnaan sistim SDR sebagai cadangan utama yang baru; dan peletakan kaitan antara SDR dengan bantuan keuangan pada negara-negara yang sedang berkembang.
Negara-negara yang sedang berkembang, termasuk Indone-   sia, dengan sendirinya tidak dapat menghindarkan diri dari pengaruh gejolak krisis moneter dunia. Pola perdagangan dan lalu lintas modal luar negeri negara-negara berkembang ter-    jalin erat dengan perkembangan ekonomi dan moneter di nega-ra-negara maju.
Negara-negara industri seperti Amerika Serikat, Eropa Ba­rat dan Jepang mengalami pertumbuhan ekonomi yang pesat dalam tahun-tahun 1968 dan 1969. Dalam tahun-tahun 1970 dan 1971, laju pertumbuhan produksi riil di negara-negara in­dustri turun menjadi sekitar 3 persen, yaitu rata-rata 1 persen, di Amerika Serikat, 8 persen di Jepang, dan 4 persen di Eropa Barat. Dalam tahun 1972 dan 1973, ekonomi dunia mengalami masa ekspansi kembali yang disebabkan oleh karena kenaikan kegiatan produksi di negara-negara industri. Pertumbuhan pro­duksi di negara-negara industri. Pertumbuhan produksi riil se­lama masa tersebut adalah sekitar rata-rata 6 persen untuk Amerika Serikat, 10 persen di Jepang, dan 5 persen di Eropa Barat.
Dalam tahun 1971, perkembangan perdagangan dari negara­negara yang sedang berkembang terganggu, akibat memuncak-nya krisis moneter internasional. Volume perdagangan dunia

202


dalam tahun tersebut mengalami kenaikan sebanyak 6 persen sedangkan nilai perdagangan meningkat dengan 12 persen. Pada waktu yang bersamaan, volume dan nilai ekspor negara-negara berkembang masing-masing hanya meningkat dengan 5 persen dan 4 persen, sedangkan volume dan nilai impor negara-negara tersebut mengalami peningkatan sebesar 7 persen dan 13 per­sen. Dengan demikian maka dalamm tahun 1971 nilai tukar per­dagangan untuk negara-negara berkembang telah merosot de­ngan 6,6 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya.

Sejak tahun 1972 negara-negara yang berkembang meng­hadapi pula krisis pangan yang disertai dengan  kenaikan da- lam harga bahan pangan seperti beras dan gandum.  Krisis  ener­gi dan bahan baku merupakan suatu kejadian internasional lainnya sejak pertengahan kedua tahun 1973 yang mempunyai bermacam pengaruh yang sangat mendalam pada neraca pem­bayaran dan laju pertumbuhan ekonomi negara-negara di dunia. krisis energi telah mengakibatkan kenaikan yang besar di dalam harga minyak bumi dan membawa keuntungan dalam bentuk peningkatan penerimaan devisi bagi negara-negara pengekspor minyak termasuk Indonesia. Di lain pihak krisis tersebut telah pula meningkatkan tarif angkutan dan harga bahan baku yang mempergunakan minyak bumi atau hasilnya sebagai bahan men-tah, antara lain pupuk. Krisis ini menyebabkan bahwa dalam tahun 1973 volume dan nilai ekspor negana-negara sedang ber­kembang yang bukan merupakan pengekspor minyak bumi me­nunjukkan kenaikan sebesar masing-masing 7 persen dan 36 persen, sedangkan volume dan nilai ekspor negara-negara se­dang berkembang yang termasuk golongan pengekspor minyak meningkat dengan masing-masing 12 persen dan 56 persen. Di­lihat dari segi impor, maka volume  dan nilai impor negara-ne­ gara sedang berkembang di luar pengekspor minyak  menga-  lami kenaikan sebesar masing-masing 9 persen dan 31 persen. Untuk negara-negara sedang berkembang pengekspor minyak maka kenaikan dalam volume dan nilai impor masing-masing adalah sebesar 20 persen dan 42 persen. Volume perdagangan
203


dunia pada tahun yang sama berkembang dengan 12 persen sedangkan nilainya meningkat dengan 37 persen. Kenaikan da­lam nilai ekspor negara-negara yang sedang berkembang, di samping kenaikan dalam harga minyak bumi, juga disebabkan oleh karena kecenderungan meningkatnya harga hasil-hasil ekspor primer dipasaran dunia yang drsebabkam oleh ekpansi ekonomi dan kenaikan permintaan dari pihak negara-negara industri. Kenaikan dalam nilai impor negara-negara sedang berkembang adalah akibat meningkatnya harga minyak bumi dan hasil-hasilnya, harga bahan baku seperti pupuk dan semen serta melonjaknya laju inflasi secara umum di negara-negara industri. Laju inflasi di negara-negara tersebut dalam tahun 1973 adalah sebesar 7,1 persen dibandingkan dengan 4,9 persen dalam tahun sebelumnya. Perkembangan di atas membuktikan betapa besar perdagangan negara-negara yang sedang berkem­bang masih bergantung kepada tingkat dan fluktuasi kegiatan ekonomi di negara-negara yang maju.
Kegoncangan politik dan ekonomi internasional beserta ber­bagai unsur ketidak pastian di masa depan menghendaki pe­ningkatan kewaspadaan guna mempertahankan kemantapan neraca pembayaran dan meningkatkan pembangunan nasional. Untuk mempersiapkan diri  menghadapi perubahan dalam sis­tim moneter internasional dan pola perdagangan internasional, negara-negara berkembang telah mengambil berbagai tindakan baik atas dasar kerja sama multilateral maupun dalam kerang- ka kerja sama regional. Dalam hubungan ini, maka kemajuan yang hingga kini diperoleh dalam rangka kerja sama antar negara yang tergabung dalam Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN) merupakan gejala yang menggem­birakan yang senantiasa perlu ditingkatkan.
B.  NERACA PEMBAYARAN INTERNASIONAL
1.     Kebijaksanaan Perdagangan dan Keuangan Luar Negeri.
Kebijaksanaan  Pemerintah di bidang perdagangan dan ke­uangan  luar negeri  selama masa Repelita I berpangkal tolak
204


pada sasaran utama pembangunan jangka panjang yaitu ter­ciptanya landasan yang kuat untuk tumbuh dan berkembang atas kekuatan sendiri. Di samping itu, kebijaksanaan dutujukan pula untuk mengurangi ketergantungan pada perkembaugan moneter dan perdagangan internasional dan untuk menghadapi pengaruh yang tidak menguntungkan yang bersumber pada pergolakan ekonomi dunia.
Selama periode 1969/70-1973/74, telah diambil berbagai tindakan untuk mendorong laju pembangunan dan memungkin- kan perobahan struktur ekonomi dan perdagangan luar negeri serta pemupukan cadangan devisa melalui pengembangan eks­por, pengendalian impor, dan pemanfaatan modal  luar  negeri.
Di bidang ekspor telah diambil langkah-langkah ke arah pe­ningkatan kapasitas produksi, diversifikasi dalam komposisi dan pasaran, peningkatan mutu dan standarisasi, pengolahan lebih lanjut dari hasil-hasil ekspor serta perbaikan dalam pola pemasaran. Untuk pengembangan barang-barang ekspor baru telah dibentuk Lembaga Pengembangan Ekspor Nasional da- lam tahun 1971 dengan tugas penelitian pemasaran produk ba­ru serta penyediaan informasi dan bantuan kepada para eks­portir dalam hal pemasaran dan pengembangan ketrampilan. Guna mendorong pertumbuhan ekspor barang-barang baru me­lalui fasilitas fiskal juga telah dirintis gagasan "wilayah peng­olahan ekspor" dan "wilayah bebas bea masuk" di samping fasilitas "bonded warehouse". Untuk menghadapi pasaran du-nia yang semakin tajam persaingannya dan memperkuat ke­dudukan Indonesia sebagai negara produsen dan eksportir   hasil pertanian, telah dijalankan berbagai usaha pemasaran bersama dalam rangka kerja sama internasional maupun re­gional. Demikian juga telah dimulai langkah-langkah untuk mengembangkan pasaran baru seperti Australia dan Selandia Baru, negara-negara Sosialis dan Eropa Timur, dan negara­negara di wilayah Asia khususnya ASEAN.
Kebijaksanaan impor selama Repelita I ditujukan pada sa­
saran penyediaan barang pokok dalam rangka program stabi­

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Online Project management